Senin, 30 September 2013

JIHAD MELAWAN NIPPON

Walau sama-sama ingin menjajah berdasarkan motif ekonomi, namun Jepang lebih pintar ketimbang Belanda dalam hal memasuki Indo nesia. Jika Belanda menggunakan bahasa pedang sehingga memerlukan biaya besar untuk menaklukkan satu demi satu wilayah di Nusantara, dengan menggandeng kaum ningrat atau priyayi sekaligus menyingkirkan peran kaum santri, namun Jepang memanfaatkan bahasa lokal, satu pendekatan sosiologis rakyat Nusantara, yakni "Jalan Islam". Jepang lebih memilih mendekati kaum santri ketimbang kaum priyayi. Hal ini tidak banyak disinggung dalam penulisan sejarah resmi Indonesia.

Awal Perang
Sejarah Jepang yang dapat ditelusuri dengan jelas barulah dimulai sekitar tahun 600 Masehi. Sejarah Jepang adalah sejarah yang penuh dengan perang saudara. Kecuali itu masyarakat Jepang juga terkenal sebagai masyarakat aristoktaris. Kekuasaan-kekuasaan tertinggi ada pada tangan para bangsawan. Walau sejarah Jepang selalu diwarnai dengan pertikaian antara bangsawan, namun sejak Kaisar Meiji berkuasa menjelang abad ke-20 Masehi, Jepang mengalami kemajuan yang pesat terutama di bidang perindustrian. Sebab itu, sebagaimana juga negeri industri maju lainnya, Jepang memerlukan bahan baku dan juga daerah pemasaran yang luas. Indonesia yang berada di selatan telah menarik perhatian para industriawan Jepang sejak Perang Dunia I, di mana banyak produk Jepang membanjiri pasar Nusantara, bersaing dengan produk Belanda dan Eropa. Produk Jepang yang relatif lebih murah disukai banyak orang. Barat tidak mampu bersaing dalam hal ini.
Sebab itulah, penguasa Hindia Belanda memberlakukan berbagai peraturan untuk melindungi produknya dari serbuan produk Jepang. Perang ekonomi ini bertambah panas, apalagi saat Inggris dan Perancis menyerbu Kepulauan Karibia, Kurakau, dan Aruba, yang semuanya milik Hindia Belanda. Amerika Serikat juga menyerbu Kepulauan Hawaii. Gerakan-gerakan Sekutu di Samudera Pacific ini diniial Jepang akan berujung pada penguasaan Sekutu atas Hindia Belanda. Jepang tentu tidak ingin wilayah dagang dan pemasok bahan mentah terbesarnya terganggu. Sebab itu Jepang menekan Belanda agar menjamin agar kepentingan Jepang di Hindia Belanda akan tetap lancar seperti semula. Namun Belanda menolak. Jepang pun marah. Apalagi sebuah nota rahasia dari Nazi Jerman yang tengah berperang di Eropa melawan Sekutu tiba di Jepang dan mendorong Jepang agar mencaplok Hindia Beianda. Jerman ingin Jepang mmgobafim perang melawan Sekuto di Pacific, dengan demikian kekuatan Sekuto akan terbelah: di Eropa mereka akan menghadapi invasi Nazi dan di Pacific dan juga Asia Tenggara, Sekutu akan berhadapan dengan Jepang.
Jepang akhirnya mengambil keputusan: Mengobarkan Dai Toa no Sense, Perang Asia Timur Raya! Pangkalan AS di Pearl Harbour pun diserbu, lalu dengan gerakan kilat mirip dengan serbuan Nazi Jerman (Blitzkrieg), Jepang menaklukan satu demi satu pulau-pulau dan wilayah di Pacific dan Asia Timur. Sumber-sumber minyak di Indonesia menjadi tujuan pertama serangan Jepang, diawali dengan serangan terhadap Tarakan di Kalimantan Timur, 11 Januari 1942. Hanya dalam tempo dua bulan, pada 8 Maret 1942, Letnan Jenderal Ter Poorten selaku Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda dan atas nama Angkatan Perang Sekutu di Indonesia, menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang dipimpin Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Dimulailah era penjajah Jepang di Bumi Pertiwi.

Jepang dan Pendekatan Islam
Kedatangan Jepang di Indonesia disambut dengan gegap-gempita oleh rakyat Indonesia. Dengan bendera kertas kecil putih dengan lingkaran merah di tangan, mereka berjejer di pinggir-pinggir jalan mengelu-elukan penakluk Belanda ini. Mudahnya Jepang mengambil had rakyat Indonesia disebabkan pendekatan Islam yang dipakai Jepang. Jepang juga berjanji akan menghormati Islam sebagai agama mayoritas rakyat Hindia Belanda. Bagaimana ini bisa terjadi?
Menurut studi yang dilakukan Harry J. Benda, perhatian Jepang akan Islam sudah terjadi sejak 1920-an. Beberapa pelajar Jepang dikirim untuk belajar Islam ke negara-negara Arab dan Mesir. Sebaliknya, mereka juga mendatangkan guru-guru agama Islam dari Timur Tengah dan Asia. Sejak itu di Asia Timur muncul kampanye seolah-olah Jepang adalah Pelindung Islam. Pada tahun 1935, masjid pertama di Jepang dibangun di Kobe, disusul kemudian pada tahun 1938 di Tokyo dengan dihadiri para tokoh Islam. Di tahun itu juga dibentuk Perserikatan Islam Jepang (Dai Nippon Kaikjo Kyokai) yang dipimpin Jenderal Senjuro Hayashi. Setahun kemudian di Tokyo bahkan berlangsung pameran tentang Islam (5-29 November 1939) dan Kongres Islam pertama yang dihadiri ulama-ulama dunia, yang juga dihadiri utusan dari Hindia Belanda seperti H. Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), Ahmad Kasat (PII), H. Mahfud Siddiq (NU), Farid Ma'ruf (PII-Muhammadiyah), AD. Almudi dan lainnya. Sebaliknya, usai Kongres Islam di Tokyo, Prof. T Kanaya, seorang pakar Islam, mengunjungi Hindia Belanda dengan pengawalan ketat dari tentara Belanda.
Pendekatan Islam yang dijalankan Jepang dirasa belum cukup. Untuk mengambil hati bangsa Indonesia, tentu saja agar bangsa ini mau membantu Jepang dalam berbagai hal saat itu, Jepang juga membolehkan disiarkan dan dinyanyikannya lagu Indonesia Raya di radio-radio dan juga di sekolah-sekolah, diizinkannya bendera Merah Putih dikibarkan, dan melarang keras penggunaan bahasa Belanda di mana saja dan digantikan dengan bahasa Indonesia. Siapa pun yang melanggarnya akan dijatuhi hukuman mati karena dianggap pengkhianat atau mata-mata Belanda.
Hanya saja, walau secara resmi memakai "Jalan Islam", namun lama-kelamaan rakyat Indonesia menyadari jika Jepang sesungguhnya tidak berbeda dengan Belanda. Hal ini diawali dengan tabiat orang-orang Jepang sendiri yang ternyata jauh dari nilai-nilai Islam. Di jalan-jalan, para serdadu Jepang yang sedang tidak berdinas kerap hanya mengenakan cawat, bahkan di depan para perempuan sekali pun. Ini menimbulkan sikap antipati kaum pribumi. Belum lagi kebiasaan mereka menenggak sake hingga mabuk. Yang paling dibenci dan sangat ditentang oleh para ulama adalah upacara Saikerei atau Seikerei. Yakni memberi hormat setiap pagi kepada Tenno Heika sebagai simbol Dewi Matahari Jepang, Amaterasu—dengan cara menundukkan kepala seperti rukuk dalam sholat ke arah Tokyo. Ini merupakan perbuatan musyrik. Sehingga dikalangan ulama ada kalimat, "Diusir kafir berkitab, datang kafir majusi!" atau di kalangan orang Aceh ada kalimat, "Kageulet ase geupeutamong bui" atau "Ta let ase peutamong but", yang berarti "Diusir anjing datang babi."
Hal ini kian menjadi-jadi menjelang awal 1943 di mana pasukan Jepang kian mendapatkan perlawanan yang keras dari Sekutu, sehingga strategi ofensif yang awalnya dilakukan bala tentara Nippon dengan terpaksa diubah menjadi startegi defensif. Di Jawa dan juga Nusantara, perlakuan tentara dan pemerintah Jepang terhadap pribumi kian brutal. Ribuan pemuda yang sehat dijadikan romusha dan dikirim ke wilayah-wilayah tak bertuan untuk membangun sistem pertahanan seperti jalan, markas, lapangan terbang, dan lainnya, bahkan hingga ke Burma. Ribuan perempuan muda pribumi yang telah diseleksi dijadikan jugun-ianfu, pemuas nafsu binatang tentara Jepang yang tengah berperang. Hasil bumi para petani dirampas oleh Jepang. Siapa pun yang menolak harus berhadapan dengan Kenpetai, polisi rahasia Jepang, yang terkenal kejam. Semua ini pada akhirnya membangkitkan semangat perlawanan rakyat Indonesia terhadap Jepang.

PARA ULAMA DAN SANTRI GELORAKAN JIHAD
Seikerei atau Saikerei merupakan tradisi Jepang yang banyak ditentang kaum Ulama. Salah satunya Haji Rasul, ayah dari Buya Hamka. Demikian pula yang diperbuat oleh KH. Zainal Mustafa dari Pesantren Sukamanah, Tasikmalaya-Jawa Barat. Saat Jepang datang, Maret 1942, Zainal Mustafa tengah meringkuk di penjara Belanda. Oleh Jepang, ulama ini dibebaskan. Jepang menginginkan agar KH. Zainal Mustafa mau bergabung dengan Badan Propaganda Jepang, namun dengan halus ulama ini menolaknya dengan meminta waktu untuk beristirahat dan berkosentrasi di pesantrennya yang sudah lama ditinggalkan.
Januari 1944 Zainal Mustafa menyatakan diri keluar dari organisasi NU. Tak lama kemudian, pada saat upacara di alun-alun Singaparna, di mana para pembesar Jepang hadir, KH. Zainal Mustafa bersama santrinya membuat geger. Mereka menolak melakukan seikerei sebagai satu kewajiban dalam acara-acara resmi dan bahkan begitu saja meninggalkan lapangan upacara. Hal ini dilakukan oleh Zainal Mustafa dan para santrinya dengan menyadari konsekuensinya. Jepang pasti akan menangkap mereka. Sebab itu, setibanya di pesantren, KH. Zainal Mustafa segera memanggil seluruh santrinya yang tengah mukim di tempat lain agar kembali ke Sukamanah. Di dalam lingkungan pondok, para santri digembleng fisiknya guna persiapan menghadapi Jepang. Pengetahuan dasar-dasar kemiliteran pun diberikan. Bahkan lingkungan pondok pesantrennya pun dipersiapkan sebagai benteng. Pasukan inti para santri berjumlah lima kompi, sekitar 509 orang dipimpin Ajengan Nadjmuddin. Masyarakat sekitar juga dilatih dan dibentuk pasukan khusus dipimpin Haji Hidayat.
Kamis, 24 Februari 1944, sepasukan polisi Jepang diperkuat dengan sepasukan Keibodan dan juga didampingi pamong praja yang antara lain oang-orang Indonesia sendiri mendatangi pesantren Sukamanah untuk menangkap Zainal Mustafa. Bentrok pun tak terelakkan. Para santri berhasil merampas 12 senapan Arisaka, 3 pistol, dan 25 senjata tajam antara lain berupa samurai.

Danoemihardja; Kiai Hadji Zainal Mustafa
Semuanya ditahan satu malam, sedangkan komandan polisi Jepang, Sumada dibiarkan pulang agar bisa melaporkan kejadian itu. Kepada para tahanan'yang juga orang Indonesia, KH. Zainal Mustafa menasehati mereka agar menjalani hidup dengan benar dan jaflgan mehkukm musyarokah (bersekutu) dengan orang-orang yang hendak memerangi agama Islam.
Keesokan harinya, saat sholat Jum'at, empat perwira Kenpetai datang dengan mengendarai jeep dikawal satu motor. Zainal Mustafa menyuruh santrinya agar tenang dan tetap menyelesaikan sholat Jum'at. Setelah itu baru terjadi dialog panas yang berujung perkelahian antara para santri melawan empat Kenpetai. Tiga Kenpetai tewas sedangkan satu santri, Nurfuad, syahid. Seorang Kenpetai yang lolos meminta bantuan. Dalam sekejap enam kompi pasukan khusus Jepang mengepung Sukamanah. Dua kompi polisi Jepang dan dua kompi Heiho bergerak ke arah Barat untuk langsung menuju pesantren. Pasukan Jepang ini dengan licik menjadikan orang-orang Indonesia yang menjadi anggota Heiho sebagai tameng. Pertempuran yang tidak seimbang pecah. Kh. Zainal Mustafa akhirnya bisa ditangkap hidup-hidup bersama sejumlah ustadz.
Setelah melewati penahanan dan penyiksaan yang panjang dan berat, akhirnya KH. Zainal Mustafa ditahan di penjara Cipinang, Jakarta. Nasibnya tidak jelas hingga pada tahun 1970 baru terkuak jika KH. Zainal Mustafa dan para ustadz Sukamanah lainnya ditembak mati pada 25 Oktober 1944. Peristiwa Sukamanah hanyalah satu di antara ribuan gelora jihad melawan kafir Jepang.

Sumber:
www.facebook.com/Riwayat.Nusantara

0 komentar:

Posting Komentar

Monggo meninggalkan komentar terbaik